Tentu ada banyak sekali perbedaan kita dengan Nabi Muhammad, beliau adalah manusia teragung yang disebut sebagai insan kamil yakni manusia sempurna. sedangkan kita adalah manusia yang penuh dengan hina syarat akan lupa, khilaf, salah dan lain sebagainya. Namun di sisi lain Nabi Muhammad ditegaskan di dalam AL-Quran adalah seorang manusia sebagaimana kita, hikmahnya yaitu supaya kita tidak bisa berargumentasi bahwa kita tidak bisa meneladani Nabi karena Ia adalah seorang Nabi yang berbeda dengan kita. Misalnya,malaikat yang diciptakan berbeda dengan kita manusia, malaikat di ciptakan tanpa nafsu sehingga kita tidak bisa meneladani malaikat, Nabi diciptakan sebagaimana kita karena Ia adalah manusia biasa sebagai teladan bagi kita sehingga kita diwajibkan untuk ikut pada keteladanannya.
Pada jalannya dan segala sesuatu yang ada darinya karena pada dasarnya beliau adalah manusia sebagaimana kita, walaupun pada tingkat tertentu sebagai manusia sempurna dan manusia teragung disisi Allah kita tidak pernah bisa mencapai satu tingkatan dengan beliau, namun setidaknya kita mendekati, berupaya meneladani semua tingkah laku beliau sebagai sunnahnya. Terkait dengan itu, minimal ada tiga perbedaan yang paling mendasar yang ingin penulis sampaikan antara kita dengan Nabi.
Perbedaan yang pertama adalah bahwa Nabi selalu melihat kebaikan di tengah keburukan, Nabi selalu mencari secercah cahaya di tengah kegelapan, misal ketika Nabi diusir oleh penduduk Thaif, dilempari dan diolok-olok, kemudian malaikat Jibril menawarkan kepada Nabi untuk diangkat sebuah gunung di sekitar Thaif untuk dilemparkan kepada penduduk Thaif yang menghina dan menyudutkan Nabi, namun Nabi tidak mau, justru Nabi mengatakan kepada Jibril “Kita berharap dan kita doakan semoga generasi orang-orang Thaif nantinya akan menjadi pengikutku, akan setia kepada agamaku”. Nabi selalu optimis melihat orang lain di tengah keburukannya, Ia selalu melihat kebaikan pada diri seseorang, Ia cari di mana celah kebaikannya, mana peluang kebaikannya, sehingga Beliau selalu optimis melihat setiap manusia seburuk apapun. Sedangkan kita cenderung justru mencari-cari keburukan di tengah kebaikan yang begitu banyak pada orang lain, bahkan sanggup membuat sendiri kesalahan orang lain yang sebenarnya tidak ada kebenarannya, orang lain sudah menjadi pribadi yang lebih baik tapi kita selalu mencari keburukannya hanya untuk kita hina, kita bandingkan dengan kita untuk di letakkan di bawah kita, kemudian kita pojokkan dia dan lain sebagainya, sehingga kita selalu pesimis dalam melihat orang lain, akhirnya relasi antara kita dengan orang lain menjadi sangat buruk.
Kemudian yang kedua, Nabi sebagaimana juga salah satu visi utamanya adalah Islam, berorientasi dalam pandangannya untuk mempersatukan bukan mencerai-beraikan, sehingga bayangkan ketika Nabi berada di tengah perbedaan dengan orang lain, ketika beliau bertemu dengan orang lain selalu mencari-cari celah kesamaan antara dirinya dengan orang itu untuk dipersatukan menjadi landasan beliau bersaudara, saling berangkul, bersatu dengan orang tersebut sehingga misalnya jika Nabi bertemu dengan orang yang berbeda Nabi akan bertanya “Apakah engkau orang Arab?” jika orang tersebut berkata bahwa dia bukan orang Arab, Nabi akan lanjut bertanya “Apakah engkau seorang Muslim?” jika kemudian orang itu menjawab bahwa dia bukan seorang Muslim, maka Nabi pun akan lanjut bertanya “Apakah engkau mengimani satu Tuhan?” jika kemudian orang itu menjawab “Ya, saya mengimani satu Tuhan” maka Nabi kemudian akan menjadikan keimanannya kepada satu Tuhan sebagaimana keimanan Nabi kepada Tuhan yang Maha Esa sebagai landasan untuk saling merangkul, bersatu, bersaudara dengan orang tersebut, dan puncaknya kata Sayyidina Ali jika kita tidak menemukan alasan untuk kita bersatu dengan orang lain baik itu karna agamanya, imannya atau karena yang lainnya maka cukuplah engkau sebagai sesama manusia dengan orang lain, sama-sama manusia sebagai landasan untuk bersatu dan menjalin persaudaraan dengan orang tersebut. Sedangkan kita, sering kali kita sebagai seorang Muslim justru berorientasi agar terpecah belah, bercerai berai, contohnya ketika kita bertemu dengan orang lain justu sebaliknya, mereka adalah sesama orang Indonesia dan kita bertanya “Apakah engkau Muslim?” jika ia menjawab “Ya, saya Muslim” maka kita masih saja kan bertanya “Apakah engkau seorang Muslim dari mazhab A atau mazhab B?” jika ia juga mazhab yang sama dengan kita, kita akan tetap akan bertanya “Engkau dari ormas A atau ormas B?” kita akan bertanya terus sampai akan menemukan perbedaan diantara kita dengan dia, kemudian itu dijadikan alasan bagi kita untuk berselisih dan untuk bersentimen dengannya.
Kemudian yang ketiga, Nabi itu senang melihat orang senang dan susah melihat orang susah, sehingga dikatakan bahwa beliau itu sampai larut dengan kesedihan karena memikirkan umatnya yang tidak mau masuk kedalam jalannya karena jalannya itu adalah jalan kebahagiaan di dunia dan jalan keselamatan di akhirat sehingga Nabi menghabiskan waktunya untuk memikirkan strategi pendekatan, metode dan berbagai hal agar umat manusia masuk kedalamnya sehingga mendapatkan kebahagiaan di dunia dan mendapatkan keselamatan menuju akhirat. Sedangkan kita, beberapa dari kita justru sebaliknya, senang melihat orang susah dan susah melihat orang senang, sehingga kita bukannya meneladani Nabi mencari metode, mencari pendekatan untuk memasukkan orang kepada Islam sehingga dia akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan keselamatan menuju akhirat, alih-alih kita justru mengeluarkan orang yang sudah Islam sebagai seorang yang kafir. Kita melakukan tindakan yang mengkafirkan orang lain hanya karena perbedaan-perbedaan yang tidak penting, perbedaan-perbedaan yang sebenarnya lumrah di tengah umat Islam, perbedan yang membuat kita seharusnya tidak sanggup untuk menghakimi seseorang itu kafir karena selagi orang itu bersyahadat maka semua itu adalah saudara kita sebagai sesama umat Islam dan dia berhak untuk mendapatkan perlindungan, berhak mendapatkan jaminan keselamatan dari kita baik nyawanya, kehidupannya, hartanya, dan perlindungan terhadap keluarganya. Itulah minimal tiga perbedaan mendasar yang penting untuk kita renungkan antara kita dengan Nabi Muhammad sehingga kita berharap esok hari kita lebih mengintrospeksi diri menjadi seseorang sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW. Aamiin.
Penulis : Pak Ucok Rb.