CERMIN HAMPA
Oleh : Airi Halcyon
Suara itu terdengar tulus dari hati dan terdengar hingga ke hati. Suara yang agak berat dengan sedikit tambahan warna pemanis. Perempuan itu tidur meringkuk di atas dipan kayu yang dialaskan tikar. Saat mimpi buruk, dipan itu akan berdecit mengikuti irama gelisah tubuhnya. Sedang malam selalu membawa bala tentara kedinginan yang menusuk tulang, tapi perempuan itu tidak punya kehangatan, maka ia memutuskan untuk berteman dengan kedinginan.
Setiap malam sama saja meski hari berganti tidak ada sesuatu spesial yang terjadi dalam hidupnya. Sunyi selalu menjadi perbincangan paling hangat yang tidak akan bisa didengar oleh siapapun bahkan kedua orangtua Bonanza. Namun, malam ini kesunyiannya terusik dengan suara hati yang terdengar milik laki-laki.
“Suara siapa itu?” tanyanya dikeheningan malam.
Kosong melompong hanya udara kopong. Tidak ada yang menjawab, karena memang tidak ada siapa-siapa di dalam kamarnya. Angin malam kembali bermain di sekitar tubuhnya, meresap ke dalam pori-pori hingga menaikkan bulu kuduknya. Pikiran aneh dan buruk mulai berseliweran di dalam kepalanya. Ia rangkulkan tubuhnya ke dalam pelukan sendiri, mengatupkan kedua kakinya hingga menghimpit buah dadanya.
“Berisik sekali kamu Bonan, bisa diam tidak!” teriak wanita yang sering dia panggil Ibu.
Kamar Bonanza dan kamar orang tuanya hanya dibatasi susunan papan yang sedikitpun tidak mampu mengurung suara. Keberisikan di salah satu kamar akan terdengar di kamar sebelahnya. Jika dia berisik maka suara ibunya akan lebih berisik menyuruhnya diam. Namun, jika kamar ibunya yang berisik sekuat tenaga dia hanya mampu menutup telinga.
Ini kali pertama bagi Bonanza mendengar suara laki-laki selain suara Bapaknya. Suara itu muncul setelah kedatangan sebuah cermin didalam kamarnya. Tanpa meminta izin cermin ini meminta sebagian tempat untuk ia tinggali. Ibunya sengaja meletakkan cermin itu di atas ranjangnya kayu, biar sebelum tidur Bonanza bisa memandangi wajahnya lalu merenungi keagungan Tuhan yang telah menciptakan kecantikan pada wajah sang Ibu.
“Apakah suara itu datang dari cermin ya?.”
“Iya Bonanza, saya adalah seorang laki-laki yang bersemayam didalam cermin.”
Tubuh Bonanza tersentak hingga ke ujung dinding yang sangat dingin. Tubuhnya semakin menggigil, sedang pikirannya semakin gila menyadari diri sendiri berbicara pada orang didalam cermin. Percakapan yang hanya bisa diketahui hati. Tangannya ia pindahkan ke arah telinga, berusaha mengatupkan segala kemustahilan alam sadarnya. Giginya bergemelutuk keras saling adu kekuatan sambil menentukan kemenangan antara kedinginan dan kenyataan.
“Jangan takut Bonan, saya tidak akan menyakitimu.”
“Tidak… laki-laki hanyalah kaki tangan dari penipuan.”
Bonanza sangat menyesali telah menuruti kemauan Ibunya. Sejak ia kecil cermin adalah musuh terbesarnya. Tidak peduli apa dan siapa cermin itu, hanya buruk rupa yang bisa ditampilkan kala ia berhadapan dengan cermin. Wajah indah hanya milik ibu pun dengan kulit bersih mulusnya. Cermin itu tidak bisa ia percaya, sama halnya dengan laki-laki semua tidak bisa ia percaya. Bahkan kepercayaannya terhadap Tuhan semakin memudar. Baginya dunia dan kenyataan hanyalah tempat penyiksaan, terutama bagi mereka yang tidak beruntung dengan kecantikan.
Pikirannya teringat kala Ibu masuk ke kamarnya dengan sebuah cermin persegi ditangan. Pinggiran cermin itu terukir dua naga yang saling mengait dengan sisik-sisik yang menjalin keagungan. Naga itu tidak punya warna sama seperti cermin yang tidak memiliki diri ataupun pendirian.
“Ibu akan meletakkan cermin peninggalan nenekmu, satu-satunya harta warisan yang kita punya,” ujar ibu dengan suara tegasnya.
“Untuk apa cermin itu Bu? toh aku tidak akan terlihat cantik disana.”
Ibunya hanya tersenyum didalam cermin, mata indahnya terus meratapi kecantikan pari purna dari Tuhan untuknya. Jari-jari lentik itu terus menyisir lembut rambut hitamnya. Sedang Bonanza hanyalah sebutir debu yang sekejap hilang ditelan angin.
“Kenapa Ibu tidak pernah membelai rambutku?” ujar Bonnaza lirih yang diringi tetesan air mata.
“Pertama, karena kamu jelek. Kedua, karena kamu tidak cantik. Ketiga, kalo kamu mau cantik itu mahal. Dan keempat kita tidak punya biaya untuk membuatmu cantik.”
Deg. Jantungnya berdetak kencang, bahkan lebih kencang dari dentingan jarum jam. Dunia seakan terus menghinanya ditambah Ibu yang semakin menghujamnya hingga ke palung terdalam. Aliran darahnya semakin deras hingga ke pucuk ubun-ubun, hampir saja penghilangan nyawa terjadi. Namun, urung ia lakukan. Seberkas harapan masih ia punya untuk hidup dengan bahagia dan tidak masuk neraka.
“Apakah kau mau aku ceritakan tentang dunia cermin?”
Bonanza masih diam berusaha menjadi patung. Namun tidak pernah terjadi, dirinya tetap menjadi manusia yang teronggok diujung ranjang. Pikirannya tidak ingin mendengarkan apapun, tapi hati mencecarnya agar berkata iya pada laki-laki itu.
“Aku adalah seorang laki-laki putus asa yang telah lama tinggal di dunia cermin. Disini hanya berisi orang-orang putus asa dan beberapanya lagi adalah orang bodoh yang tidak punya harapan dan doa.”
Bonanza menjadi lebih tenang setelah mendengar suara laki-laki itu lebih lama. Seolah ada aliran energi yang menariknya untuk meresapi setiap untaian kata. Sebagian tubuhnya menjadi rileks seperti selesai meditasi. Matanya hampir terpejam ingin lebih dekat dengan suara itu.
“Jangan! Matamu jangan terpejam!”
“Kenapa?”
“Dunia cermin ini hanya punya dua pintu. Pertama adalah cermin itu sendiri, yaitu cermin yang berada paling dekat denganmu. Dan yang kedua adalah pikiranmu. Jika pikiranmu berada didunia cermin, maka sebagian jiwamu telah berada disini. Saat matamu terpejam seluruh tubuhmu telah hidup disini. Jika cermin yang kau punya retak ataupun pecah, maka sepenuhnya kau tidak akan bisa kembali.”
Bonanza semakin ketakutan. Tubuhnya kembali menggigil, bahkan lebih hebat dari sebelumnya. Bibirnya mulai berdarah akibat dari hentakan giginya. Dunia miliknya semakin meggila.
“Tidak apa-apa Bonanza. Kau masih punya cermin dalam keadaan utuh. Ya meskipun cermin yang ada di kamarmu adalah cermin pesakitan, yang hanya menampilkan keindahan bagi mereka yang indah saja. Sedang mereka yang tidak indah harus menanggung penderitaan. Seharusnya tidak seperti itu cara kerja cermin dan dunia manusia. Kebahagiaan dan kepedulian yang seharusnya menjadi landasan suatu kehidupan.”
“Kau adalah wanita yang cantik dengan cara yang berbeda. Semua manusia indah dengan cara yang berbeda pula.”
Segaris senyum mulai merekah di wajah Bonanza. Senyum yang sangat langka, bahkan hampir punah. Kini mulai lestari setelah kata-kata laki-laki itu merasuki sekujur tubuhnya. Suara itu membuatnya candu, setelah ujaran kebencian yang hanya ia dengar. Rona merah jambu hadir di kedua pipinya yang perlahan mulai menjalar hingga ke hatinya.
“Dasar wanita tidak tahu diuntung!”
Suara laki-laki yang berbeda terdengar dari balik papan. Suara Bapaknya yang setiap hari terus memaki. Memaki Ibu, dirinya bahkan anjing di depan rumah ikut dibenci.
“Kamu yang tidak tahu diuntung. Seharusnya kamu bersyukur dijodohkan dengan wanita cantik seperti aku!” ujar Ibu.
Mereka selalu begitu. Ibu yang selalu menyombongkan parasnya yang rupawan dan Bapak yang selalu memaki dengan keadaan yang menyedihkan. Sebuah kolaborasi yang menyesakkan. Setiap hari hanya pekikan dan jeritan yang menghantam malam.
“Jika kamu cantik, seharusnya kamu bisa melahirkan anak yang cantik!”
“Aku bahkan tidak ingin melahirkan anak itu,” ujar Ibu dengan suara yang semakin hilang dibawa angin.
Udara menjadi panas, mendidihkan hawa di ruangan sebelah. Kesabaran Bonanza sudah dititik penghabisan. Kepalan tangan ia bawa menuruni dipan, menuju ke depan cermin. Awalnya ia ratapi wajah pemberian Tuhan. Sedetik kemudian kepalan itu ia hantamkan ke cermin, hingga retak menjadi seribu bagian. Bagian-bagian kecil menancap di jari-jarinya, mengeluarkan aliran darah. Lututnya lemas dan gemetaran. Seluruh ungkapan rasa tidak pernah terucapkan, hanya tindakan bodoh dengan penyesalan pernah hidup di dunia yang bisa ia lakukan. Tubuhnya jatuh diatas serpihan kaca. Harapan hidup semakin sirna dan mati menjadi pilihan kedua.
“Hei kamu!”
Tidak ada yang menyahut. Lagi-lagi hanya hening yang berdenging di lubang telinga. Keputusasaan kian menggerogotinya. Perlahan matanya mulai terpejam, hingga sekujur tubuhnya menjadi hilang berat dan mengambang.
Derap langkah hampa dengan tujuan yang membingungkan mulai menyadarkannya. Saat matanya terbuka, ternyata dirinya tidak lagi di rumah.
Jambi, 22 Juli 2020
Merupakan cerpen pemenang lomba yang diadakan oleh Dema FAH UIN Sultan Thaha Saifuddin Jambi-