Sumber : Pinterest
Semburat senja dengan malu-malu menyapa lewat celah jendela yang ku biarkan terbuka, angin pun tak mau kalah dengan menerbangkan helaian rambutku beserta kertas-kertas yang mulai menguning. Mataku tertumpu pada sosok yang sampai detik ini masih melintas dalam benakku. Si Ikal yang memesona. Sepasang mata jernihnya menyeruak memenuhi memori, menenggelamkanku pada ingatan saat perjumpaan yang menghadirkan sebuah rindu. Rona merah tak bisa ku hilangkan saat wajah itu menyihirku, meski kini semua tak lagi sama tetapi rasanya masih sama. Aku tahu ini salah, tetapi biarkan hari ini aku kembali mengulas tentang dia Si Ikal ku.
Masa SMA memang selalu meninggalkan potret tersendiri dalam memori, entah itu bahagia ataupun sedih. Masalah persahabatan atau karena cinta putih abu-abu, semua punya cerita yang tidak bisa terlupa meski Dewa waktu telah melahapnya. Lorong waktu membawaku kembali pada dimensi itu, saat sang matahari dalam hidupku masih bersinar membawa ceriaku yang terkubur. Dia dengan tingkah konyolnya mengusir sepi dalam jiwaku, menumbuhkan senyuman-senyuman yang tak pernah ku tampakkan pada dunia.
Helaian rambut ikalnya menari-nari membawaku pada suatu kisah dimana senja yang terbalut rintik hujan kami habiskan bersama ditemani sepeda tua miliknya. Tak peduli kuyup yang membasahi baju putih kami yang penting tak ada perpisahan mengusaikan hari ini. Tangan kekarnya menuntun lenganku untuk melingkar di pinggangnya. Perlahan ku senderkan kepalaku pada punggung tegapnya, sejenak ku rasa tubuhnya menegang mungkin tak mengira aku akan melakukan itu. Namun, ku abaikan demi rasa hangat yang ku dapatkan.
“Kamu kedinginan?” aku hanya menggelengkan kepala, meski begitu dia tetap mengelus jemariku agar gesekan itu mengalirkan sebuah kehangatan.
Sejauh mata memandang tampak orang-orang lebih memilih berteduh ketimbang melanjutkan perjalanan tersiram hujan. Menatap kami seolah orang aneh ditengah hujan lebat yang lebih memilih basah kuyup, tetapi terlihat romantis disaat bersamaan. Si Ikal, sepeda tua dan hujan menjadi perpaduan yang menyempurnakan hari ini.
Tetesan masih terasa saat kami tiba di depan rumahku. Dia mengelus puncak kepalaku menyudahi pertemuan kita hari ini. Entah keberanian dari mana aku sedikit menjinjitkan kaki ku untuk mengecup pipinya. Reaksinya manis sekali karena bukan hanya aku yang sedari tadi menyembulkan rona di pipi, dia pun begitu. Hingga detik ini, ekspresi itu masih terpatri dalam sudut memori tersendiri. Setiap hati memiliki ruang tersendirinya entah untuk sebuah kenangan ataupun luka, dia memiliki ruang dalam hatiku yang tak seorang pun dapat mengeluarkannya, bahkan jiwaku sendiri.
“Jangan tiba-tiba dong…” dengan sekejap wajahnya sudah ditekuk membuat senyumku terbit
“Hati-hati pulangnya,” masih dengan senyum terulas aku mendorongnya pelan
“Hm…yang tadi tiba-tiba…jadi gak terasa,” aku hanya memeletkan lidah dan masuk ke dalam rumah, meninggalkan Si Ikal.
Tanganku terus menelusuri halaman demi halaman dari buku usang yang ku temui, terlukis banyak potretnya, dia yang tersenyum bagai sang surya menyapa dunia. Gigi gingsulnya sukses membuatku ikut tersenyum kala suram yang kualami. Pernah saat itu kami bertengkar, sosoknya menjadi dingin dan hangat disaat bersamaan membuatku gemas dengan tingkahnya. Ia kesal padaku yang introvert, seolah semua luka yang ku punya tidak untuk dibagi. Dia benci saat kebiasaanku menyakiti diri sendiri demi lega yang ku dapat. Namun, dia lebih benci pada orang-orang yang membuatku seperti itu, termasuk kedua orang tuaku.
Terserah pandangan kalian pada kami, dua insan yang dipaksa dewasa karena sebuah keadaan. Sosokku yang lebih banyak diam dan tertutup adalah caraku membalut luka, berbeda dengan sosoknya yang ceria dan selalu bahagia untuk menutupi lukanya. Bukankah setiap orang memiliki caranya sendiri untuk mengobati sebuah luka? Namun, tetap sama tujuannya agar tidak semakin terluka.
Aku menyingkap lengan bajuku, mengusap bekas luka sayatan yang telah lama mengering. Bukti atas pendewasaan yang ku alami, dipaksa untuk terus bangkit meski luka belum terbalut. Korban atas tindakan orang dewasa yang bersikap egois, menuntut tanpa pernah mau mendengarkan. Berlagak seolah ucapannya adalah hal terbaik yang harus dilakukan, tanpa pernah mencoba mendengarkan bahwa ada yang lebih baik. Selalu menjadi bayang-bayang atas kesuksesan orang lain. Mungkin kalian berpikir aku terlalu lebay hingga mengiris nadiku sendiri. Ucapan kalian lah yang semakin membuat luka ku bagai disiram air garam.
Hanya Si Ikal ku yang memahami tanpa menghakimi, berusaha menguatkan padahal sama-sama rapuh. Aku selalu suka saat menggores senyumannya, karena hal itu membuatku kembali bersemangat. Seolah ada seseorang yang menarikku dari sebuah lubang tak berdasar.
“Semua orang itu punya lukanya sendiri dan semua ingin dimengerti…kita tidak perlu seperti mereka, cukup tampilkan kebahagiaan yang bisa ditunjukkan karena hanya dengan itu kita bisa sejenak melupakan luka kita dan mengobati luka orang lain.”
Kata-katanya bagaikan alunan musik mendayu membuka cakrawalaku yang sempit dan berdebu. Aku paham mengapa aku suka senyumnya dan selalu bersemangat saat senyum itu terbit. Karena dia lah matahariku yang tak pernah tenggelam meski malam menghampiri. Meski sosoknya telah terkenang di alam lain, hangatnya masih menyapa setiap kalbu. Tanpa terasa air mataku meluruh mengingat betapa keji kematiannya.
Si Ikal ku seorang yang bertindak saat orang lain terancam, selalu peduli tanpa pernah di peduli. Membuat orang lain bahagia sedangkan dirinya rapuh. Menopang beban seseorang tanpa ada yang menopangnya. Selalu bahagia yang ditampilkan. Darinya aku tahu malaikat berwujud manusia itu nyata, aku tidak berusaha memuji-mujinya di depan kalian. Namun, itulah Si Ikal ku. Tidak menunjukkan kebaikannya dengan kata-kata tetapi dengan tindakan.
Sampai saat itu, sosoknya yang hangat direnggut oleh orang tidak punya hati. Dengan sadisnya menikam berkali-kali menyalurkan kebenciannya yang mengakar. Lalu meninggalkannya begitu saja seolah bangkai yang menjijikkan. Dalam tangis aku merengkuh sosoknya.
Napasnya dipaksa meninggalkan raganya, jiwaku menjerit saat bibir merahnya kini pucat menahan derita. Namun, senyumannya masih terukir menenangkanku yang semakin dibanjiri air mata.
“Aku menyanyangimu a…a…”
Kepalaku terasa sakit saat memori itu mendadak melintas, menarikku pada kenyataan bahwa dia tiada dalam dekapanku. Benar-benar kepalaku seperti dihantam batu yang sengaja dijatuhkan. Suara sirine dan kerumunan bergelayutan silih berganti bagai melodi kematian. Mentalku terkikis dipaksa baik-baik saja menghadapi luka terbesarku. Orang-orang meninggalkanku agar tidak terluka atas tindakanku yang berbahaya katanya. Menyudutkan seolah menghakimi lukaku atas kepergian sosok berharga dalam hidupku.
“Jangan dipaksa sayang.”
Kata-kata suamiku menyentakku kembali pada kesadaran. Tangannya mengelus lembut rambutku dan mengusap setiap peluh yang menetes. Kehadirannya membawa angin segar yang menenangkan, harum musk-nya menyesap ingatan tentang luka itu. Luka terbesar dalam hidupku.
“Aku buatkan coklat panas dulu ya!” ia merapikan kertas-kertas yang berserakan, kertas yang berisi semua potretnya. Menyimpan buku itu dalam laci dan menguncinya. Seolah tak membiarkanku membuka lembaran itu lagi.
“Ikut,” rengekku, ia mengulas senyumnya dan mengecup dahiku.
Si Ikal yang lain di hidupku, memiliki kisah yang berbeda tetapi sama-sama memberi cinta padaku.
Ditulis 17 Desember 2020
Oleh : Asma